Sabtu, 07 September 2013

Ceritaku dari Jogja : Warung Bubur Kacang Ijo (Burjo)


   Bagi sebagian orang, khususnya mahasiswa yang pernah menempuh pendidikan di tanah Jawa, istilah “warung burjo” tentunya bukanlah hal yang asing lagi untuk didengar. Jika kita cermati warung burjo (bubur kacang ijo), tempat dimana biasanya menjual makanan berupa bubur kacang hijau, indomie, nasi telur, nasi sarden, dan berbagai jenis makanan lainnya, dalam banyak hal tidak hanya sekedar sebuah warung jajanan, tetapi telah merangkap pula sebagai tempat “tongkrongan” yang cukup dinikmati. Terlebih apabila warung burjo tersebut berada dilokasi starategis yang dekat dengan tempat kost, harganya murah, serta buka selama 24 jam non stop.

 Saat aku menuntut ilmu di Kota  Pelajar Yogyakarta, warung burjo tidak hanya sebagai tempat makan, tetapi juga adalah sebagai tempat mahasiswa untuk mengobrol. Obrolannya bisa seputar sharing tentang tugas perkuliahan, curhat dari hati ke hati tentang cinta, hingga mengobrol terkait hal-hal penting seperti rapat kepanitiaan untuk kegiatan kampus. Selain itu, warung burjo juga kadang dimanfaatkan mahasiswa sebagai tempat begadang jika ada pertandingan bola tengah malam, serta menjadi tempat memperpanjang hidup para mahasiswa jika uang kiriman telah menipis. 
 

Perlu diketahui pula bahwa keberadaan warung burjo di Yogyakarta, dimana-mana hampir disetiap penjuru gang daerah kost mahasiswa, bisnis ini telah menjadi suatu hal yang tidak sulit untuk dijumpai. Kepopuleran warung burjo yang banyak diminati oleh kalangan mahasiswa inilah yang kemudian menjadikan fenomena merebaknya warung burjo menjadi selalu terkenang dipikiranku. Heheee…..

       Fenomena merebaknya warung burjo, tentunya tidak dapat lagi dihitung dengan menggunakan hitungan jari. Betapa tidak, dalam perkembangannya lahan bisnis ini telah banyak dijadikan oleh sebagian besar orang untuk mencari sumber penghidupan. Akan tetapi, suatu hal yang perlu untuk kita cermati disini adalah ketika warung burjo yang telah merebak dimana-mana, sekiranya kemudian menjadi penting untuk kita lihat terkait dengan ciri khas yang menjadi pembeda dengan warung burjo lain. Warung burjo dimana notabennya dikenal sebagai kekentalan budaya sunda tentunya akan memiliki perbedaan bila dibandingkan dengan warung burjo lain. Sebab untuk di beberapa tempat, terkadang dijumpai menamakan dirinya sebagai “warung burjo”, namun tidak menjual bubur kacang hijau. Sehingga ciri khas pembeda tersebut dapat dilihat dari sisi bahasa, warna warung, tampilan, menu penyajian, dan lain sebagainya. 
 

Bila kita mendatangi warung burjo yang pedagangnya adalah orang sunda, umumnya dari sisi bahasa yang digunakan ketika ia berkomunikasi dengan pembelinya, maka ia akan memanggil dengan sebutan Aa atau Teteh. Tidak hanya itu dari warna warung pun, umumnya yang biasa ditemukan adalah dengan memberi cat warna kuning dan biru. Sedangkan dari menu penyajian biasanya terdiri dari aneka minuman, gorengan, bubur ayam dan bubur kacang hijau khas sunda, nasi telur, nasi sarden, indomie rebus telur atau intel baik intel rebus, maupun intel goreng.

Pada dasarnya warung burjo mungkin terlihat sederhana. Akan tetapi jika kita amati, warung burjo yang tersebar di penjuru Yogyakarta dalam jumlah yang tidak sedikit, semuanya memiliki spanduk “Indomie” yang kebanyakan sama dan semuanya juga menjual tipe makanan yang sama. Kekhasan lain untuk kita cermati adalah dengan melihat spanduk nama burjo dengan font dan keterangan yang sama (jenis makanan yang dijual). Kesamaan bentuk spanduk, desain interior warung dan rasa mie karena menggunakan merek mie instan yang sama yakni, Indomie menunjukkan adanya aspek daya prediksi yang diaplikasikan para pedagang burjo. Orang-orang yang datang ke warung burjo pun, sudah tahu menu apa yang dihadirkan dan seperti apa rasa makanan yang akan dihidangkan disana.

Dari cerita di atas tadi, pointnya kemudian adalah sekiranya pada kondisi ini menjadi penting untuk kita cermati, bahwa adanya kesamaan nilai-nilai budaya sunda melalui warung burjo dalam bentuk tiru meniru yang tidak ada kesepakatan khusus inilah, bisa jadi disebabkan karena pengusaha burjo yang kebanyakan telah saling kenal dan penjual burjo yang memang kebanyakan berasal dari budaya yang sama yaitu, sunda. 

* Tulisan ini sebagai ungkapan rasa rinduku terhadap Jogja. So...i always missing you

~ Sekian


3 komentar:

Anonim mengatakan...

burjo cimindi di Klebengan mantap rasanya

Unknown mengatakan...



Terima Kasih Atas Sampaian Yang Anda Berikan
Salam Kenal dan Sukses Selalu
viagra jakarta
obat cialis
obat pembesar penis
obat kuat
maxman
pilbiru
klg
obat hammer of thor

Pijat Panggilan Wanita dan Bayi mengatakan...

jogja emang bikin kangen...sekarang warmindonya gaul2 n bertema joglo